“Dok,
saya bingung, bayi saya ini, kok, sering sekali bolak-balik berobat
karena penyakit yang sama, flu dan flu dan flu,” kata seorang ayah di
ruang praktik dokter spesialis anak, yang segera dilanjutkan oleh
istrinya, “Iya, Dok. Padahal bayi saya ini sudah diperlakukan sesuai
dengan apa yang dokter sarankan, diberi ASI eksklusif, saya makannya
sudah 4 sehat 5 sempurna yang dimasak matang, kebersihan kamar dan rumah
oke, begitu juga dengan ventilasi udara dan cahaya, sudah sesuai
standar kesehatan internasional, deh.”
Sebelum si dokter sempat menjawab, si
ibu kembali berkata, “Oh, ya, Dok, di rumah saya tidak ada perokok,
pendingin udara di kamar dipatok pada suhu 25 derajat celcius, setiap
pagi AC dimatikan dan membuka jendela lebar-lebar. Juga tak hanya
antibiotik, semua obat yang diberikan dokter selalu dihabiskan seperti
apa kata dokter.”
Sambil menulis resep, si dokter
menanggapi, “Bu-Pak, kita semua ini manusia yang masih sedikit sekali
ilmunya. Jadi pertahankan apa yang telah disebutkan Bapak dan Ibu tadi.
Sekarang kita coba dulu dengan obat yang ini, mudah-mudahan berhasil.”
“Basi!” Mungkin pernyataan ini yang akan
keluar dari mulut si bapak dan ibu tadi. Mungkin juga kita akan
mengucapkan hal yang sama, jika hal itu-itu saja yang dikemukakan dokter
setiap kali kita mempertanyakan kenapa si kecil harus sakit saban
minggu.
GARA-GARA ANTIBIOTIK
Menurut Prof. Iwan Darmansjah, MD,
SpFK., bayi seharusnya ditakuti oleh penyakit alias jarang sakit.
Mengapa? “Karena bayi masih dibentengi imunitas tinggi yang dibawanya
dari dalam kandungan, juga diperoleh dari air susu ibunya. Jadi,
penyakit sehari-hari seperti flu yang ditandai panas, batuk, pilek-,
penyakit virus lain, atau bahkan infeksi kuman, seharusnya dapat ditolak
bayi dengan baik,” papar senior konsultan Pusat Uji Klinik Obat
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PUKO FKUI) ini.
Karenanya, jika bayi hampir saban minggu
atau sebulan bisa dua kali bahkan lebih berobat ke dokter, lanjut Iwan,
“Tentu akan timbul pertanyaan besar. Apakah ada yang salah dari
lingkungan, apakah ada yang salah pada tubuh si bayi, ataukah dokter
yang salah mendiagnosa.”
Iwan berpendapat, jika bayi berobat ke
dokter karena flu hanya sesekali dalam kurun waktu 6-12 bulan, masih
terbilang wajar. Tetapi kalau sudah setiap 2-3 minggu sekali harus pergi
berobat ke dokter, maka tak bisa dikatakan wajar lagi.
“Kondisi ini bisa terjadi jika tak ada
faktor penyulit serta sudah menghindari faktor pencetusnya-, kemungkinan
besar karena si bayi selalu mengonsumsi antibiotik yang diresepkan
dokter setiap dia sakit,” ungkapnya.
Padahal, tidak semua penyakit yang
dialami bayi, apalagi flu, harus diobati dengan antibiotik. Sekalipun
antibiotiknya itu dalam dosis, takaran, atau ukuran yang sudah
disesuaikan dengan usia, berat dan tinggi badan si bayi.
FATAL AKIBATNYA
Penting diketahui, antibiotik baru ampuh
dan berkhasiat jika berhadapan dengan bakteri atau kuman. Antibiotik
tak akan mampu membunuh virus juga parasit. “Nah, kejadian demam karena
flu itu, kan, sekitar 90%, bahkan 95% disebabkan oleh virus. Jadi, salah
kaprah sekali jika bayi flu harus minum antibiotik karena tak akan
menyelesaikan masalah, apalagi menyembuhkan penyakit si bayi,” bilang
Iwan.
Kesalahkaprahan pemberian antibiotik ini
akan ditebus mahal oleh bayi, yakni menurunkan imunitas tubuh si bayi.
Makanya tak heran jika bayi yang setiap sakit demam selalu minum
antibiotik, tidak akan lebih dari satu bulan pasti sakit kembali.
Lebih jauh lagi, antibiotik tak
memperlihatkan efektivitasnya langsung terhadap tubuh manusia seperti
obat lain, tetapi melalui kemampuannya untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan kuman. Nah, kalau tidak ada kuman jahat untuk dibunuh ia
justru membunuh kuman yang baik, dan ini merupakan efek sampingnya.
Selain itu antibiotik bisa menimbulkan resistensi kuman dan mengurangi imunitas anak terhadap virus dan kuman.
Meski resistensi kuman merupakan
fenomena yang logis alamiah, tapi menurut Iwan, pemakaian antibiotik
yang berlebihan dan tidak rasional bisa mempercepat resistensi kuman
pada tubuh pasien. Reaksi lain yang bisa dilihat karena pemberian
antibiotik adalah timbul demam, reaksi alergi, syok, hingga yang
terparah yaitu kematian, karena si bayi tak tahan terhadap antibiotik
yang dikonsumsinya.
“Jangankan bayi, orang dewasa saja bisa meninggal jika dia tidak tahan antibiotik yang diminumnya,” tambah Iwan.
PENGGUNAANNYA HARUS TEPAT
Lain ceritanya, lanjut Iwan, jika bayi
terkena penyakit yang disebabkan kuman atau bakteri. Sekalipun tidak
wajib, bayi boleh saja menjalani terapi antibiotik untuk kesembuhannya.
“Tentu harus dengan antibiotik yang
sesuai untuk penyakit yang dideritanya.” Jadi, antibiotik yang diberikan
harus tepat dengan jenis mikroorganisme penyebab penyakit. Kalau
tidak, maka penyakit tak akan sembuh. Sebagai contoh, seperti
dipaparkan Iwan, untuk mengobati bisul bisa digunakan Dicloxacillin,
Flucloxacillin atau Eritromisin, Spiramisin, Roxithromisin, dan
sejenisnya. Untuk mengobati radang paru-paru dapat digunakan antibiotik
Penicillin G (injection) dan seturunan Eritromisin di atas.
“Tetapi bayi dan anak tak boleh mengonsumsi antibiotik Moxifloxacin untuk mengobati radang paru-parunya, kecuali orang dewasa.”
Sedangkan untuk mengobati tifus bisa
menggunakan Kloramfenicol atau Ciprofloxacin. Khusus untuk bayi dan
anak, jika tak tahan Kloramfenicol, maka dapat diberikan Ciprofloxacin.
Selain itu, pemberian antibiotik juga harus tepat dosisnya, tak boleh
lebih ataupun kurang. Untuk ukuran dosis, tiap bayi berbeda-beda,
tergantung seberapa parah penyakitnya, riwayat kesehatannya, hingga
berat dan panjang badan si bayi.
Terakhir, harus tepat pula kapan
antibiotik itu diminumkanpada si bayi, berapa jam sekali, biasanya
sebelum makan, dan boleh dicampur obat lain atau tidak.
Yang perlu diperhatikan, penggunaan
antibiotik tak melulu dengan cara diminum (per oral), tetapi ada pula
yang lewat jalur injeksi. Karena itu, jangan sekali-kali memberi
antibiotik sendiri tanpa sepengetahuan dan resep dari dokter.
“Ingat itu berbahaya dan percuma, karena
hanya dokter yang tahu antibiotik A adalah untuk mengobati kuman yang
peka terhadap A,” tandas Iwan.
Hal penting lainnya, antibiotik harus
dikonsumsi hingga habis supaya mikroorganisme yang menjadi sasaran
antibiotik dapat dimusnahkan secara tuntas. Bila tak dihabiskan,
kemungkinannya mikroorganisme tersebut akan menjadi kebal terhadap
pemberian antibiotik sehingga penyakit tidak sembuh tuntas.
MENGGANGGU FUNGSI GINJAL
Penggunaan antibiotik yang tak perlu,
ujar Dr. rer. nat. Budiawan dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan
Lingkungan (PUSKA RKL) Universitas Indonesia, bisa menyebabkan timbulnya
kekebalan mikroorganisme terhadap antibiotik yang diberikan tersebut.
Sehingga, jika timbul penyakit akibat mikroorganisme yang sudah kebal
tersebut, pemberian antibiotik biasa tak akan mampu menyembuhkan
penyakit tersebut sehingga harus dicari antibiotik yang lebih ampuh.
Selain itu, mengonsumsi antibiotik yang
tidak tepat bisa membunuh bakteri yang justru diperlukan tubuh, dan bisa
terjadi gangguan sistem biokimia dalam tubuh.
Efek lainya, bisa mengganggu sistem
ekskresi tubuh, “Dalam hal ini gangguan terhadap fungsi ginjal,
mengingat bahan aktif utama senyawa antibiotik tertentu bersifat
nefrotoksik atau racun bagi fungsi sistem ginjal.”
KENAPA DOKTER “MENGOBRAL” ANTIBIOTIK?
Sekalipun dampaknya sudah jelas
merugikan pasien, namun tetap saja masih banyak dokter meresepkan
antibiotik padahal jelas-jelas penyakit yang diderita si bayi bukan
lantaran kuman. Menurut Iwan, hal ini dikarenakan perasaan tidak secure
seorang dokter dalam mengobati pasiennya.
Walau begitu, Iwan tetap tak setuju.
“Kalau boleh terus terang, hingga sekarang saya juga bingung dan tak
bisa mengerti, kenapa banyak sekali dokter yang berbuat sebodoh itu,
pada anak-anak lagi,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bohong besar, tambah Iwan, jika dokter
mengatakan kepada pasienya, penyakit flu atau pilek yang dideritanya
akan bertambah parah jika tak diobati dengan antibiotik. Karena itu,
sebagai pasien atau orang tua pasien harus berani dengan tegas menolak,
“No antibiotik, jika penyakit yang kita derita bukan karena bakteri.”
Penolakan seperti ini adalah hak pasien, lo.
APA, SIH, SEBENARNYA ANTIBIOTIK ITU?
Antibiotik dibuat sebagai obat derivat
yang berasal dari makhluk hidup atau mikroorganisme, yang dapat mencegah
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain.
“Antibiotik diperoleh dari hasil isolasi
senyawa kimia tertentu yang berasal dari mikroorganisme seperti jamur,
actinomycetes, bakteri. Hasil isolasi tersebut dikembangkan secara
sintetik kimia dalam skala industri,” kata Budi. Akan tetapi, tidak
semua makhluk hidup dapat dijadikan antibiotik, karena antibiotik harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Harus efektif pada konsentrasi rendah.
2. Harus dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh satu atau lebih jenis mikroorganisme.
3. Tidak boleh memiliki efek samping bersifat toksik yang signifikan.
4. Harus efektif melawan patogen.
5. Harus dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa kehilangan aktivitasnya.
6. Harus dapat dieliminasi dari tubuh secara sempurna setelah pemberian dihentikan.
7. Harus bersifat sangat stabil agar dapat diisolasi dan diproses dalam dosis yang sesuai, sehingga segera dapat diserap tubuh.
2. Harus dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh satu atau lebih jenis mikroorganisme.
3. Tidak boleh memiliki efek samping bersifat toksik yang signifikan.
4. Harus efektif melawan patogen.
5. Harus dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa kehilangan aktivitasnya.
6. Harus dapat dieliminasi dari tubuh secara sempurna setelah pemberian dihentikan.
7. Harus bersifat sangat stabil agar dapat diisolasi dan diproses dalam dosis yang sesuai, sehingga segera dapat diserap tubuh.
Selain dapat merusak gigi dan tulang,
pemberian antibiotika yang tidak rasional pada si kecil dapat
menyebabkannya kebal pada bakteri ‘jahat’. Antibiotika sudah tak asing
lagi di telinga. Bahkan, dengan ringannya kita mengkonsumsinya untuk
mengobati penyakit, seperti flu atau radang tenggorokan.
Benarkah antibiotika itu seringan dugaan
kita? Organisme yang dapat dibunuh antibiotika adalah jasad renik
seperti bakteria, kuman, dan parasit. Tetapi virus tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika, karena bukan benda hidup.
“Virus membutuhkan sel hidup untuk
berkembang biak, oleh karena itu virus tidak bisa dibunuh antibiotika,”
ujar Dokter kesehatan anak, Dr Purnamawati Sujud Pujiarto, SpAK,MMPed.
Virus yang ada di lingkungan sekitar
kita pada dasarnya tidak berkembang biak dan tidak berbahaya. Namun,
ketika tersapu tangan kemudian memegang hidung atau mulut, virus akan
terbawa masuk ke dalam tubuh lalu menggunakan perangkat hidup manusia
untuk berkembang biak.
“Selama ini banyak anggapan bahwa
penyakit yang disebabkan oleh virus, misal flu atau pilek diobati dengan
mengkonsumsi antibiotika. Padahal tidak seperti itu,” ujar lulusan FKUI
ini.
Oleh karena itu, orang tua harus
memiliki pengetahuan dasar kesehatan anak, misalnya batuk-pilek ringan
yang disebabkan virus tidak memerlukan antibiotika. Penyakit yang
disebabkan oleh virus itu tidak ada obatnya. Jadi kapankah saat yang
tepat memberikan antibiotika pada anak?
Pemberian Antibiotika
Sebenarnya, tubuh kita sudah memilki
sistem kekebalan (imun) alami untuk menangkal penyakit yang masuk ke
dalam tubuh. Sel-sel darah putih bertugas membunuh bakteri yang
merugikan, tetapi ada kalanya sistem imun menurun. Ketika tubuh diserang
oleh kuman ‘jahat’ lalu sistem imun melemah kemudian timbul infeksi, di
saat inilah tubuh membutuhkan antibiotika.
“Karena daya tahan menurun, bisa terjadi
sekunder infeksi karena bakteri jadi lebih mudah masuk ke dalam tubuh,”
kata farmakolog, Dr Yati Harwati Pujiarto, SPAK.
Penggunaan antibiotika harus disesuaikan
dengan jenis bakteri atau kumannya. Karena antibiotika bersifat
membunuh semua bakteri dalam tubuh, maka jika tak ada bakteri ‘jahat’
dalam tubuh sebaiknya tidak mengkonsumsinya. Seorang peneliti dari
Harvard University, menemukan bahwa banyak sekali kuman dan bakteri yang
hidup di alam semesta ini, tapi hanya kurang dari dua persen saja
bakteri yang merugikan.
Untuk mengenali penyebab infeksi,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang akurat melalui beberapa tes, salah
satunya tes kultur, dengan mengambil spesimen dari bakteri tersebut
kemudian dibiakkan. Setelah pemeriksaan, akan diketahui jenis bakteri
penyebab infeksi misalnya, kuman gram positif contoh methicillin
Stphylococcus aureus, atau kuman gram negatif seperti E coli,
Pseudomonas sp untuk memberikan antibiotik yang sesuai.
“Tidak ada antibiotik yang dapat membunuh semua kuman gram positif dan kuman gram negatif.
Ada beberapa antibiotik yang ‘kuat’ menghancurkan kuman gram positif namun agak ‘lemah’ pada kuman gram negatif,” ujar Yati. ‘
Supaya pemberian antibiotika tepat,
lanjut Dr Yati, harus diketahui tempat infeksinya atau spektrum
aktivitas bakteri. Jika sudah dideteksi asal penyebabnya, maka
diperlukan antibiotik spektrum sempit (neuro spectrum), yaitu aktivitas
anti bakteri berspektrum sempit, yang mengarah pada tempat penyebab
infeksi. Jika infeksi terdapat di beberapa tempat atau sulit terdeteksi
maka diberikan antibiotik spekrum luas (broad spectrum).
“Untuk pemberian dosis antibiotik pada anak umumnya disesuaikan dengan berat badan dengan rumus tertentu,” ujarnya.
Pemberian antibiotika spektrum luas
tanpa indikasi yang tepat dapat mengganggu flora normal usus berupa
bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman anaerob, serta jamur
yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan makanan dalam
tubuh.
Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya
menguntungkan, misalnya bakteri pada usus yang membantu proses
pencernaan dan pembentukan vitamin B dan K. Pada bayi yang kelebihan
antibiotika, bisa mengalami kekurangan vitamin K yang berguna mencegah
pendarahan.
Selain itu juga akan menyebabkan anak
menderita penyakit diare karena sistem pencernaan terganggu dan iritasi
di bagian usus akibat zat-zat kimia dari antibiotik. “Diare disebabkan
karena terbunuhnya kuman yang diperlukan untuk pencernaan dan menjaga
ketahanan usus, sehingga bakteri ‘jahat’ menguasai tempat tersebut dan
merusak proses pencernaan,” jelas Purnamawati.
Akibat lain dari pemberian antibiotika
yang tidak tepat adalah timbulnya kuman yang resisten. Setiap mahkluk
ciptaan tuhan memiliki kemampuan untuk bertahan (survive) begitupun
dengan bakteri atau kuman. Jika jasad renik ini diserang terus menerus
maka akan menciptakan suatu sistem untuk bertahan dengan cara bermutasi
(mengubah bentuk) sehingga sulit dibunuh antibiotika.
“Jadi semakin sering mengkonsumsi
antibiotika, makin tinggi pula tingkat kesuburan kuman-kuman yang
menjadi resisten,” ujarnya mengingatkan.
Menurut Purnamawati, Antibiotika sesuai
tingkatannya dibagi menjadi lini pertama, membunuh jenis kuman tertentu
(paling ringan), lini kedua dan lini ketiga, yaitu antibiotika tergolong
berat.
“Sebaiknya penggunaan dimulai dengan
pemberian antibiotika lini pertama, jika tidak responsive baru diberikan
antibiotika lini kedua,” sarannya. Jika kuman sudah resisten maka anak
membutuhkan antibiotika yang tergolong ‘berat’. “Perlu diwaspadai,
antibiotika lini ketiga selain lebih mahal juga memiliki efek
samping,misalnya alergi (gatal-gatal atau ruam) dan diare,” katanya.
Apa Itu Nosokomial?
Superbugs adalah kuman, virus atau
bakteri yang memiliki tingkat kekebalan paling tinggi terhadap
antibiotika atau resisten. Anda bisa menemukannya di rumah sakit, karena
banyak menggunakan antibiotika maka sedikit banyak dapat mengubah
profil kuman ‘biasa’ menjadi superbugs, yang dikenal sebagai penyebab
penyakit nosokomial.
“Karena biasanya kuman-kuman di rumah sakit sudah mengenal banyak jenis antibiotik, sehingga menjadi kebal, “ujar Yati.
Nosokomial adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri resisten di rumah sakit, dan umumnya
diderita oleh pasien yang menginap di RS. Awalnya penderita nosokomial,
hanya terinfeksi kuman ‘ringan’ namun setelah diperiksa ternyata
penderita mengalami infeksi ‘berat’ yang hanya dapat diatasi antibiotika
dosis tinggi.
Penularan kuman di rumah sakit (infeksi
nosokomial) terjadi pada sesama pasien atau lewat petugas kesehatan.
Namun jangan khawatir, umumnya setiap RS melakukan sistem pengendalian
infeksi secara ketat. Perlu diingat antibiotik harus diminum habis
sesuai aturan pakainya.
Karena jika kuman belum sempurna dibasmi
maka akan resisten. “Kuman akan berkesempatan membentuk enzim khusus
untuk melawan antibiotik atau mengubah sistem kerjanya agar tidak bisa
dibunuh dengan antibiotika tertentu,” ujarnya.
Dr Yati berpesan, orang tua jangan
terlalu berlebihan memberi obat, termasuk antibiotika, pada anak, karena
akan menyebabkan keracunan atau terkena penyakit Iatrogenic. “Umumnya
sistem sekresi pada anak belum sempurna, penumpukan obat atau
antibiotika dapat dengan mudah mengganggu sistem metabolismenya,”
terangnya.
Jangan gampang memberikan antibiotika pada anak
Dr Yati Harwati Istiarto, SpAK, MMPed memberikan langkah-langkah yang tepat:
a. Jika anak terkena demam atau flu, beri kompres pada anak untuk menurunkan suhu tubuhnya, konsumsi makanan empat sehat lima sempurna, minum obat antipanas yang biasa dikonsumsi dan perbanyak minum air putih.
b. Jika kondisi anak belum juga membaik selama tiga hari dan disetai kejang-kejang, hubungi dokter secepatnya. “Ada kemungkinan anak terkena infeksi di bagian tertentu, sehingga perlu penanganan lebih lanjut dan pemberian antibiotik,” ujarnya.
c. Jika anak terluka, cukup berikan salep atau obat antiseptik.
d. Jangan lupa membersihkan tangan sebelum makan agar bakteri yang melekat pada tangan tidak terbawa masuk melalui makanan.
e. Jika anak diharuskan mengkonsumsi antibiotika, biasanya dokter memberikan antibiotika kelas ringan yaitu golongan Betalactam seperti penicillin. “Umumnya diberikan jika infeksinya juga tergolong ringan, namun pemberian antibiotik juga disesuaikan dengan jenis bakterinya,” kata Yati.
f. Pada anak usia dibawah sepuluh tahun, hindari mengkonsumsi antibiotika jenis Tetracycllin karena dapat merusak gigi (gigi kuning) dan mengganggu pertumbuhan tulang.
g. Agar tak salah langkah memberikan antibiotika, saat ini informasi mengenai kesehatan bisa Anda dapatkan melalui buku, seminar atau internet yang terpercaya agar Anda lebih rasional dalam bertindak.
a. Jika anak terkena demam atau flu, beri kompres pada anak untuk menurunkan suhu tubuhnya, konsumsi makanan empat sehat lima sempurna, minum obat antipanas yang biasa dikonsumsi dan perbanyak minum air putih.
b. Jika kondisi anak belum juga membaik selama tiga hari dan disetai kejang-kejang, hubungi dokter secepatnya. “Ada kemungkinan anak terkena infeksi di bagian tertentu, sehingga perlu penanganan lebih lanjut dan pemberian antibiotik,” ujarnya.
c. Jika anak terluka, cukup berikan salep atau obat antiseptik.
d. Jangan lupa membersihkan tangan sebelum makan agar bakteri yang melekat pada tangan tidak terbawa masuk melalui makanan.
e. Jika anak diharuskan mengkonsumsi antibiotika, biasanya dokter memberikan antibiotika kelas ringan yaitu golongan Betalactam seperti penicillin. “Umumnya diberikan jika infeksinya juga tergolong ringan, namun pemberian antibiotik juga disesuaikan dengan jenis bakterinya,” kata Yati.
f. Pada anak usia dibawah sepuluh tahun, hindari mengkonsumsi antibiotika jenis Tetracycllin karena dapat merusak gigi (gigi kuning) dan mengganggu pertumbuhan tulang.
g. Agar tak salah langkah memberikan antibiotika, saat ini informasi mengenai kesehatan bisa Anda dapatkan melalui buku, seminar atau internet yang terpercaya agar Anda lebih rasional dalam bertindak.
Apa Itu Antibiotika?
Antibiotika berasal dari kata anti dan bios dalam bahasa latin yang artinya kehidupan, jadi antibiotika adalah zat yang dapat membunuh atau melemahkan kehidupan jasad renik (jamur, kuman, bakteri, virus).
Antibiotika berasal dari kata anti dan bios dalam bahasa latin yang artinya kehidupan, jadi antibiotika adalah zat yang dapat membunuh atau melemahkan kehidupan jasad renik (jamur, kuman, bakteri, virus).
Menurut Dr Yati Harwati Istiantoro SpFK,
Staf pengajar FKUI bagian Farmakologi, Antibiotik memiliki banyak
klasifikasi antara lain berdasarkan bahan kimiawi yang dikandungnya
seperti golongan penicillin, atau bisa dilihat dari mekanisme kerjanya,
apakah antibiotik membunuh bakteri (cidal) atau menghambat perkembangan
bakteri.
Sedangkan ditilik dari proses
pembuatannya antibiotika dibagi menjadi 3 yaitu, dibuat secara alami,
antibiotik berasal dari bagian dari kuman itu sendiri atau jamur jenis
tertentu. Secara sintetis, mengambil zat-zat aktif dengan proses reaksi
kimiawi. Sedangkan semi sintetis, mengambil bahan secara alami (jamur
atau bakteri) lalu melalui proses fermentasi dan kimiawi.
Apa perbedaan antara obat biasa dengan
antibiotik? Obat umumnya bekerja aktif pada sel-sel manusia sedangkan
antibiotika bekerja membunuh bakteri dan sedapat mungkin tidak menyentuh
sel-sel manusia.
“Antibiotik diserap kemudian diedarkan
menuju tempat penyebab infeksi, hanya kuman yang dibunuh. Sehingga
antibiotika tidak akan berguna jika tubuh tidak terinfeksi, justru malah
membunuh bakteri baik dalam tubuh,” papar Yati.Sumber: Majalah Inspiredkids